“Semoga dapat kapal yang bagus” ujar umi Neny membuka
percakapan di bus.
“Aamiin, Alhamdulillah kemarin pergi kami dapat yang bagus
mi, gak tau nanti” jawabku
***
Seketika kami tertidur pulas, umi pun membangunkan kami
menginformasikan bahwasanya sudah sampai Pelabuhan Merak dan akan turun dari
bus untuk menuju tempat di kapal.
Aku pun melihat jam menunjukkan pukul 22.00. wah cepat yah..
baru jam segini sudah naik kapal, jangan-jangan tidak subuh sampainya tetapi
jam 03.00an kita sampai di tanjung karang.
Bus pun berhenti dan parkir di lantai dasar kapal. Semua penumpang
diminta untuk turun. Kami pun menuju ke lantai 3 kapal yang kami naiki.
Ekspresi kami seketika berubah, “hem.. kapalnya tidak bagus.
Tempatnya begini banget yah. Haduh ada orgennya lagi, bisa-bisa kita tidak
tidur.” Ujar salah satu diantara kami.
Mb Arie dan Ari keluar mencari ruangan yang lain. Aku, Mb
Yekti, Nisda dan umi duduk di tempat yang telah dipilih.
“Kira-kira kita kuat gak nih di sini? Pasti kalau sudah
jalan musiknya bermain, mana banyak bapak-bapak yang merokok.” Ucap Nisda
kepada kami.
Aku : “Tunggu sebentar yah, aku cek tempat dulu.”
Aku pun menuju ke luar ruangan, melihat sekitar. Hanya ada
dua ruangan di kapal tersebut. Satu dengan suasana musik dangdut dan para
lelaki yang merokok. Satu lagi ruang VIP yang tidak seberapa bagus namun sudah
dipenuhii dengan kebanyakan bapak-bapak.
Di sebrang toilet aku melihat ada ruangan mushola yang
bersih. Aku pun berinisiatif mengajak mereka untuk rehat di dalam mushola saja.
Akhirnya kami pun memutuskan untuk rehat di ruag mushola. Kami
bergegas meninggalkan ruangan yang cukup tidak kondusif itu.
***
Beberapa menit kami duduk di dalam mushola tiba-tiba seorang
bapak tinggi besar masuk dan mengatakan “ngapain mb disini? Keluar-keluar,
musholanya mau dikunci. Di sanakan masih ada kursi yang kosong di belakang. Keluar-keluar.”
Seolah-olah kami tak menggubris usiran sang bapak. Tidak lama
kemudian dua sosok lelaki masuk mushola, dan mereka melaksanakan shalat isya.
“Yasudah kita di sini saja dulu, nanti jika sudah 3x diusir
baru pergi. Rada maksa. Dan harap-harap cemas.” Ujar Mbk Yekti.
Tidak lama kemudian dua sosok wanita ikut masuk ke dalam
mushola dan melaksanakan shalat isya. Lumayan perpanjangan waktu.
Setengah jam kemudian sisa kami ber-Enam yang berada di
dalam mushola kapal tersebut.
“Kamu baca qur’an saja agar kita tidak diusir,” celetukku
pada Nisda
Namun takdir kami memang harus tetap diusir, bebrapa menit
kemudian sang bapak kembali hadir dan meminta kami keluar dari mushola. Dengan berat
hati kami pun keluar dan mencari tempat lain. Mushola pun terkunci rapat-rapat.
Umi Neny, Nisda, Mb Yekti dan Mb Arie memutuskan untuk
kembali ke dalam ruangan yang ada orgen tunggalnya. Ari kekeh ingin duduk di
pinggir kapal. Tidak tega meninggalkannya sendiri, aku pun menemaninya duduk. Baru
saja kami duduk dan berdiskusi, tiba-tiba seorang lelaki yang sejak tadi
merapihkan tikar yang ku kira petugas kapal ikut menghampiri kami.
P.T: “Mbak 10rb saja mb tikarnya.”
Dengan ekspresi bingung,
A : “Maksudnya gimana ya mas?” Tanyaku heran.
P.T: “Iya mb ini tikarnya disewakan 10rb saja.”
Seketika aku dan Ari saling menatap.
A : “Gimana ri?” Tanyaku.
A : “Masuk aja deh yuk”
A : “Iya yuk dingin juga di luar. Oh maf mas, makasih ya,
kami di dalam saja kalau begitu.”
Kami pun ikut menyusuli mereka yang terlebih dulu duduk di
dalam kapal. Dan meninggalkan mas-mas yang menawarkan sewa tikarnya. Bismillah..
mencari posisi yang enak, kami pun beristirahat.
***
Lima menit kemudian..
“Yo, yo dibeli yo pecinya murah meriah untuk suami dan anak.
Biasa di jual 30 ribu di pasar, tapi bisa ditawar jadi 25rb. Jika beli disini
hanya 15rb. Yo yo..”
Teriak sang bapak yang menggunakan pakaian petugas kapal dengan
gaya promosinya. Suaranya cukup menarik perhatian semua penumpang yang berada
di dalam rungan tersebut.
Dan tiba-tiba sang anak muda yang berseragam sama membagikan
peci ke kursi-kursi penumpang. “Yo yo silakan di coba dulu. Jika tertarik bisa
bayar ke kami.”
Belum usai sang anak muda membagikan peci, sang bapak di
depan kembali mempromosikan ciput, obat urut dan satu per satu produk yang dijualnya.
Sedangkan sang anak terus keliling mengitari penumpang,
membagikan brosur, peci, maupun ciput.
Ada beberapa penumpang yang tertarik dan membelinya, ada
pula yang mengabaikannya. Suasana malam itu seperti sedang berada di pasar. Tawar-menawar
pun terjadi. Aku yang sejak tadi duduk di samping Ari pun berbisik. “Ri.. keren
yah mereka, liat geh tekhnik promosinya., liat geh gayanya, keren yah.. gak
malu-malu tapi pede baget.”
“Iya.. liat geh anak muda itu walau tidak dibeli ekspresi
menaruh barang dan mengambil dari tempat penumpang tetap sama. Tidak marah atau
kecewa” ujar Ari padaku
“Iya.. bisa dicontoh tuh gaya promosi yang super pede itu.”
“Iya betul..”
Percakapan yang berbisik-bisik pun memenuhi cakap dengan
sembari memperhatikan orang-orang yang ada disekitar.
Lima menit setelah mereka usai berpromosi, kapal pun sudah
mulai jalan. Tetiba sosok lelaki memegang mic di depan orgen, menyampaikan
perjalanan dan mendoakan semoga selamat sampai tujuan.
Setelah muqadimah yang dilakukan ia pun menyanyikan sebuah
lagu nonstalgia, diirigi dengan music orgen yang sangat besar.
“Yah.. mulai.. siap-siap deh tidak bisar tidur.” Ujarku dengan
Ari
“Iya nih.. haduh tutup telinga.”
Ku perhatikan Mb Arie, Mb Yekti dan Nisda yang sudah menutup
wajahnya dengan masker dan jaket. Mereka pun berupaya tidur. Pun begitu dengan Umi
Neny yang di depan kami, umi berupaya untuk memjamkan mata agar tertidur dengan
tubuh yang ditutupi jaket. Sedangkan aku dan Ari masih terjaga.
Satu dua lagu didendangkan hingga tiba puncaknya di tegah
malam sekitar pukul 23.00 sang bapak pemandu orgen memanggil para biduan
(wanita penghibur) untuk bernyanyi.
Mataku mulai mencari dan melihat. Ternyata di ujung kapal
sebelah kanan di samping orgen 4 biduan yang memakai baju merah mencolok sedang
berselfie.
“Innalillahi wa innaiayhirojiun, astagfirullahhaladzim.. Ri..
itu biduannya dikeluarin, ku kira hanya bapak tersebut yang menyanyi..” keluhku
pada Ari.
“Astagfirullahhaadzim.. pakaiannya ukh,,” ujar Ari
Dan sejak saat itu orgen dikuasi oleh Empat wanita
penghibur. Suasana semakin malam semakin tidak kondusif. Tidak hanya dangdut, music
remix pun diputarkan dengan volume yang cukup untuk memcahkan gendang telinga.
“Ih,, aneh loh.. gimana orang mau istirahat coba, musiknya
gede bener.” Lagi-lagi keluhku pada Ari.
“Iya ih..”
Dan semakin malam semakin menjadi. Tidak hanya menyanyi,
para biduan itu memutarkan ruangan, meminta sumbangan hasil ngamennya, beberapa
memberikan. Namun sang biduan tidak mengarah ke kami.
Ku lihat Mb Arie, Nisda, Mb Yekti yang tetap mencoba tidur
memejamkan mata. Sedangkan umi Neni di depan mulai mengeluarkan pena dan
kertas.
“Ri.. Ri.. liat geh.. pasti umi lagi mau nulis. Pasti umi
mau menuliskan kejadian ini. Pasti ide umi mulai bertebaran.” Dengan gayaku
yang sok tau.
“Iya keren yah umi, selalu produktif.”
“Iya, aku mau nulis catatan handphone ku sudah mati.”
Kami pun memperhatikan satu per satu para penumpang.
“Des, liat geh kakak itu keren yah.. dia sedang baca buku..”
Ari mengarahkan pandangan ke seorang lelaki yang sedang asyik dengan bukunya.
“Masya allah iya, memafaatkan waktunya yang ada. Aku tadi
mau bawa buku tapi fikirku perjalanan malam pasti mau rehat, jadi tidak jadi ku
bawa. Biasanya aku membawanya.”
“Iya ini aku bawa, tapi belum dibaca” ujar Ari.
“Oh iya, tadi kan dapat buku Ahmad Rifai Rifan, baca itu
saja deh.” Aku pun segera menegeluarkan buku kecil berjudul “Perjalanan
Menulisku” Ahmad Rifai Rifan. Yasudah gantian yah bacanya. Oke.
Sembari membaca mata ini pun sembari melirik para biduan
yang semkain tidak punya malu. Satu per satu para lelaki di godanya, satu per
satu penumpang lelaki dimintakan sawerannya, sembari memberikan goyangan yang
sangat jijik ku melihatnya.
“Ya Allah.. dimana rasa malu mereka? Aku sebagai seorang
wanita saja malu melihatnya, mereka mengapa dengan Pedenya melakukan hal
tersebut?”
“Ri.. memang si ada sebab dan akibat seseorang melakukkan
sesuatu hal tersebut, tapi.. astagfirullah. Masa maereka tidak malu, bagaimana
jika anak-anaknyna melihat?”
Dan Hampir semua mata lelaki menatap Empat biduan dengan
mata nafsu. Tidak sedikit para ibu-ibu yang ikut serta menatap karena heran,
bingung, atau bahkan lucu melihatnya.. terlihat dari senyum seorang ibu yang seperti
menganggapnya sesuatu hal yang biasa.
Dalam hati aku mulai berdiskusi. “Ya Rabbana.. ampuni dosa-dosa kami, ampuni dosa mereka, berikan
kesempatan mereka bertobat, berikan hidayah kepada mereka. Ya Rabb.. apa
jawaban kami saat di hari pengadilan nanti, ketika kami menyaksikan hal yag
tidak baik di mata kami, namun kami memilih untuk berdiam dan menghindar. Bagaimana
dengan petanggungjwaban nanti. Tidak ada tindakan kami untuk mencegahnya dan
tidak mungkin kami melakukannya.” Keluhku pada sang Rabbi.
Dan fikiran ini pun melayang. Jika kami larang dan minta
hentikan, bisa saja mereka mengusir kami, menjeburkan kami di tengah laut ini. Tapi
jika tidak kami hentikan bagaimana nanti jawaban kami di akherat kelak, atas
kedzoliman yang kami biarkan.. “Ya Rabb. Apakah diam kami saat ini adalah
pilihan yang benar? Kami di sini menumpang. Jumlah kami lebih sedikit dari
mereka. Bagimana jika sebaliknya mereka akan melakukan keburuan kepada kami. Ya
Allah apakah diam kami saat ini adalah pilihan yang benar?” Semabri banyak-banyak
beristighfar diri ini menyaksikan pemandangan yang tidak sedap mata.
Mencoba menyusul mereka yang tertidur namun yang ku dapati
hanyalah kepala yang pusing. Aku pun mencoba menyelesaikan bacaan buku yang ku
pegang, sembari ku berdoa “ya Allah semoga
perjalanan ini segera usai. Semoga cepat sampai. Semoga cepat bersandar ke
dermaga.”
Dan malam itu adalah Nampak jelas kami menyaksikan para
biduan yang merayu suami orang. “Ya Allah..
bagaimana tidak banyak perselingkuhan dan perceraian, jika di dalam perjalanan
para lelaki digoda dengan para wanita seperti mereka. Apalagi mereka yang tidak
memiliki iman, akan mudah sekali tergoda.”
Tidak sedikit yang memberikan uangnya untuk para biduan dan
berjoget bersama. Atau tidak sedikit para bapak-bapak yang tidak memiliki uang
untuk menyawer namun meyaksikan dari tempat duduk, dari depan ruangan, maupun
dari sudut kursi sembari merekam video goyangan sang biduan.
“Ya Allah…
ampuni dosa-dosa kami..” hela
nafasku panjang.
Setelah usai membaca buku, aku pun memaksakan diri untuk
memjamkan mata, berharap kapal segera bersandar ke dermaga.
Hingga pukul 01.00 kapal kami pun bersandar. Alhamdulillah..
ujarku lega. Kami pun bergegas keluar dari kapal tersebut. Harap-harap cemas
jika Allah kasih adzab di dalam kapal yang kami tumpngi malam itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar