Bahkan untuk menatap pagi yang kembali datang di hadapannya Rara tak punya kekuatan yang mendalam. Bagaiamana tidak? Hutangnya kian hari kian menumpuk. Tiga Juta Rupiah jika ditotal untuk keseluruhan bukanlah uang yang sedikit baginya. Rara pun heran entah kemana uang sebanyak itu habis begitu saja. Kini waktunya hanya seminggu untuk melunasi hutang itu. Penghasilanpun tak ada, kuliah libur, jatah harian tak di dapatkan. Bagaimana bisa?
***
Ayah : Rara.. Bagaimana kuisioner yang di isi dengan ka Reno, sudah benarkah? Ada komunikasi lagi tidak? (Suara ayah Rara memecahkan pagi menjelang siang)
Rara : belum tau yah. Sahutnya. Seakan-akan ayah memberi jawaban secara tidak langsung.
Ka Reno?? Apa aku harus menghibungi beliau? Dia kan orang kaya, pasti punya uang segitu. Hem.. Tapi.. Gimana cara bicaranya, komunikasi saja tidak. Tapi bisa saja dimulai. Tapi.. Kalau seandainya ayah dan ibu tau bagiamana? Kalau papahnya ka Reno tau bagaiamna? Ah.. Tapi kan bisa saja minta tolong ke beliau untuk tidak memberitau ke siapa-siapa.. Ahh sudahlah.. Aku galau (ujar Rara dalam hatinya)
Fikiran-fikiran melayang itu terus dan terus menemani dirinya yang sedang asyik dengan piring-piring kotor yang sedang di usap.
***
Dan kegalauan itu terus menghantuinya hingga menyadarkan Rara dengan setrikaan yang sudah panas.
Astagfirullah..
Ya allah .. Apa yang harus ku lakukan. Rintih Rara dalam doa.
Astagfirullah..
Ya allah .. Apa yang harus ku lakukan. Rintih Rara dalam doa.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar