Tiga tahun sejak beliau harus menjauhkan raganya
dari gadis pujaan ke Kairo untuk menuntut ilmu agama, gadis tersebut ternyata
memilih menyerahkan cintanya kepada orang lain. Sayyid merasa terpukul
mendengar berita ini. Tak kuasa menahan sedih, seguk tangis tak terbendung.
Sangat dimaklumi bagaimana rasanya merelakan
kepergian embun cinta pertama yang pernah mengisi relung jiwanya, yang pernah
melambungkan asa dan melejitkan potensi kebaikannya. Cinta pertama memang
indah, namun sakitnya menusuk ulu hati hingga menganga.
Embun cinta kedua lahir, menyejukkan dan
membangkitkan kembali kerinduaan jiwa Sayyid untuk menautkan cintanya karena
kecintaan kepada Allah. Gadis kedua ini berasal dari Kairo. Mengenai gadis ini
sang Sayyid pernah menggambarkan bahwa paras gadis ini tidaklah buruk namun
gagal untuk dibilang cantik. Nampaknya ada pesona lain yang memikat Sayyid
sehingga merindukannya. Mungkin tatapan menyejukkan yang dibawa embun cinta
ini.
Sayangnya, lagi-lagi takdir tidak bermurah hati
dengan cinta sang Sayyid. Di hari pertunangannya, Sayyid seakan disambar petir,
pasalnya gadis tersebut sambil menangis menceritakan bahwa Sayyid adalah orang
kedua yang hadir dihatinya. Perkataan gadis itu seakan meruntuhkan harapan sang
Sayyid untuk mendapatkan gadis yang perawan fisiknya, perawan juga hatinya.
Sayyid akhirnya memutuskan hubungan dengan gadis
Kairo tersebut, pergi membawa raganya jauh dari embun cintanya. Raga Sayyid
boleh saja menjauh, namun jiwanya ternyata tak mampu melepaskan pesona sang
embun cinta. Selanjutnya apa yang terjadi? Sayyid tenggelam dalam penderitaan
jiwa yang selalu dibawa atas nama cinta.
Kesedihan bercampur kerinduan ternyata lebih
menyiksa Sayyid dibanding goresan pedang yang menyayat tubuhnya. Akhirnya
Sayyid mengorbankan idealismenya kemudian pergi menjemput dan rujuk kembali
dengan gadis pembawa embun cinta tersebut. Namun sayang, kali ini gadis itulah
yang menolak cinta sang Sayyid.
Perih bukan main gejolak rasa yang dialami
Sayyid. Ada banyak puisi yang lahir dari penderitaan yang dirasakan Sayyid
tersebut. Bahkan tercipta roman-roman yang merupakan bayang-bayang romansa
cinta tersebut. Inilah peristiwa kedua yang membuat luka batin sang Sayyid.
Saat harapannya menggantungkan cinta terputus oleh kekuasaan takdir. Menorehkan
luka yang menganga menabur kepedihan.
Namun bukan Sayyid Quthb namanya bila beliau
harus hancur gara-gara cintanya yang terhempas takdir. Dengan kebesaran hati
dan sikap husnudzon terhadap takdir Allah, tanpa menafikkan kesedihan yang
melanda hatinya, beliau berujar kepada sang Pemilik takdir “Apakah dunia tidak
menyediakan gadis impianku? Ataukah pernikahan tidak sesuai dengan kondisiku?”.
Saat cinta yang dirindu tak kunjung menerimanya,
maka beliau menggantungkan seluruh cintanya pada Dzat yang selalu mencintainya,
yang cintanya tidak akan pernah terputus, yang cintanya kekal abadi. Cintanya
Allah.
Ya, Allah. KepadaNyalah beliau menumpah ruahkan
seluruh cinta dan mimpi-mimpinya yang tertolak takdir, sambil berlari menjemput
takdirnya yang lain.
Yang luar biasa adalah, Asy-Syahid sadar dirinya
berada dalam realitas. Bukan dalam dunia ideal yang melulu posesif, indah dan
tanpa aral. Kalau cinta tak mau menerimanya, biarlah ia mencari energi lain
yang lebih hebat dari cinta.
Ternyata energi itu tidak jauh-jauh dari
kehidupannya, Allah lah Energi yang kemudian membawanya ke penjara selama 15
tahun. Dan di penjara itulah beliau dengan gemilang berhasil menulis tafsir Fi
Dzhilalil Qur’an dengan cinta. Sebelum akhirnya harus meregang nyawa di tiang
gantungan. Sendiri! Dengan cinta yang sudah tertumpah ruah semua untuk Rabbnya,
hanya kepada Rabbnya.
Bahkan dalam novel Duri Dalam Jiwa yang ditulis
Sayyid pada tahun 1947 sebelum Sayyid Quthb bergabung dalam gerakan Ikhwanul
Muslimin. Sayyid sukses menunjukkan kepiawaiannya dalam mengolah kata dan
menyajikan konflik yang pekat dengan empati, melibatkan ilmu jiwa dan
penghayatan mendalam. Sulit untuk berhenti sejenak membacanya karena takut
kehilangan feel yang telah didapat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar